Jumat, 14 Juni 2013

Tugas Softskill 3 Akuntansi Internasional Handra Ramadhanto_25209080_4eb19



Konsep Dasar Letter of Credit

Dalam melakukan transaksi perdagangan ekspor-impor, sistem pembayaran yang umum digunakan adalah Letter of Credit (L/C) atau Documentary Credit. Walaupun transaksi yang dilakukan antara kedua belah pihak dimungkinkan untuk tidak menggunakan L/C, namun untuk melindungi kedua belah pihak biasanya transaksi dengan L/C lebih disenangi, dimana bank ikut terlibat dan mengurangi risiko tertentu. Dalam publikasi terbitan ICC dinyatakan bahwa Documentary Credit adalah perjanjian tertulis dari sebuah bank (issuing bank) yang diberikan kepada penjual (beneficiary, exportir) atas permintaaannya dan sesuai dengan instruksi-instruksi dari pembeli (applicant) untuk melakukan pembayaran yakni dengan cara membayar, mengaksep atau menegoisasi wesel sampai jumlah tertentu dalam jangka waktu yang ditentukan dan atas dokumen-dokumen yang ditetapkan.
Letter of Credit memiliki beberapa peran dalam perdagangan internasional,
diantaranya :

1. memudahkan pelunasan pembayaran transaksi ekspor
2. mengamankan dana yang disediakan importir untuk membayar barang impor
3. menjamin kelengkapan dokumen pengapalan

Prosedur Transaksi Letter Of Credit adalah sebagai berikut :
  1. Pihak penjual dan pembeli mengadakan negosiasi jual beli barang hingga terjadi kesepakatan.
  2. Pihak pembeli diharuskan membuka L/C dalam negeri pada suatu bank (bank pembuka L/C)
  3. Setelah L/C DN dibuka, oleh bank pembuka L/C segera memberitahukan kepada bankpembayar bahwa L/C DN telah dibuka dan agar disampaikan kepada si penjual barang.
  4. Penjual barang mendapat pemberitahuan dari bank pembayar bahwa pembeli telah membuka L/C barang dagangan sudah dapat segera dikirim. Disini penjual barang meneliti apakah L/C terjadi perubahan dari syarat yang telah disetujui semula.
  5. Pihak penjual menghubungi maskapai pelayaran atau perusahaan angkutan lainnya untuk mengirimkan barang-barang ke tempat tujuan.
  6. Pada waktu pembeli menerima kabar dari perusahaan pengangkutan bahwa barang telah datang, maka pihak pembeli harus membuatkan certificate of receipts atau konosemen yang harus diserahkan kepada bank pembayar dan penjual. Hal ini dilakukan setelah memeriksa kebenaran L/C dengan faktur atau barang yang dikirim oleh si pembeli.
  7. Atas dasar konosemen penjual segera menghubungi bank pembayar dengan menunjukan dokumen L/C dan surat pengantar dokumen disertai denga wesel yang berfungsi sebagai penyerahan dokumen dan penagihan pembayaran kepada bank pembayar.
  8. Bank pembayar setelah menerime dokumen dari penjual segera menghubungi bank pembuka L/C. Oleh bank pembuka L/C segera memberitahukan penerimaan dokumen dilampiri dengan perhitungan-perhitungannya kepada pembeli.
  9. Pembeli menerima dokumen dari bank pembuka L/C
  10. Pembeli segera melunasi seluruh kewajibannya atas jual beli tersebut kepada bank pembuka L/C.
  11. Bank pembuka L/C memberi konfirmasi penerimaan dokumen dan sekaligus memberitahukan bahwa si pembeli telah membayar. Dengan demikian memberi ijin kepada bank pembayar untuk melakukan pembayaran kepada si penjual. Kemudian semua arsip disimpan.
  12. Oleh bank pembayar akan dilakukan pembayaran dengan memperhatikan diskonto atau perhitungan wesel.



Putusan MA mengenai kasus LC PT. Polyprima Karyareksa

PT Polyprima Karyareksa menggugat Daelim Corporation yang berada di Seoul, Korea. Latar belakang masalah ini adalah ketika pada tanggal 29 Agustus 2006 telah ditandatangani kontrak jual beli berupa Para-Xylene sebanyak 5000 Metrik Ton antara pembeli (penggugat/ PT Polyprima Karyareksa) dan penjual (tergugat/Daelim Corporation) seharga $1505/MT. Berdasarkan kontrak jualbeli yang telah dikeluarjan oleh Daeco, pembeli mendapati syarat-syarat yang tidak jelas dan terperinci. Hal ini jelas akan merugikan pembeli dan hal ini juga tidak memberikan kepastian hukum kepada pembeli. Adanya gugatan dari pembeli ke penjual tersebut dikarenakan:
·         Jangka waktu pembayaran
Terdapat dua metode pembayaran melalui pembukaan L/C, yaitu pembeli harus mengeluarkan L/C dalam jangka waktu 30 hari setelah dibukanya Bill of Lading. Namun, pada kontrak jual beli yang dibuat oleh Daeco justru menyebutkan bahwa pembukaan L/C selambat-lambatnya adalah 5 hari sebelum kapal tiba di pelabuhan Anyer, sebagai pelabuhan tujuan. 
·         Waktu keberangkatan dan kedatangan kapal tidak jelas
Bahwa kontrak jual beli ini tidak jelas dalam kapan kapal berangkat dan sampai di pelabuhan tujuan. Di dalam kontrak jualbeli tersebut hanya mencantumkan bahwa pengapalan akan dilaksanakan pada pertengahan September 2006 dengan tujuan Pelabuhan Anyer, Indonesia. Padahal kapan pengapalan dilaksanakan adalah hal yang terpenting dalam L/C mengingat kapan pembeli menentukan harus membuka L/C. Hal ini menunjukkan ketidakseimbangan hak dan kewajiban  antara pembeli dan penjual.
Hal ini ditunjukkan dengan  kewajiban pembeli harus membuka L/C meskipun penjual tidak memberi hak kepada pembeli kapan kepastian tanggal keberangkatan dan sampainya pengapalan barang. Dengan ketidakjelasan ini, belum terbentuk kesepakatan pembayaran antara pembeli dan penjual, sehingga seharusnya menunda jadwal pengiriman, akan tetapi penjual bersikuku telah melakukan pengapalan barang, padahal pada kenyataannya kapal tersebut tidak pernah sampai. Serta hal ini menunjukkan itikad yang tidak baik dari penjual ketika penjual membuat kondisi seperti penjual merasa terugikan oleh pembeli, karena pembeli melakukan pembatalan sepihak atas barang yang telah dikapalkan, dan seolah pembeli tidak mau membuka L/C. 

Selain itu, pembeli juga merasakan kerugian yang disebabkan sebagai berikut:
·         Itikad yang tidak baik dari tergugat
Itikad yang tidak baik dari tergugat juga ditunjukkan melalui tuntutan dari penjual ke pembeli terhadap kerugian pabrik sebesar $2,253 juta, sehingga mengakibatkan pabrik lumpuh selama 10 hari dan tidak dapat memenuhi pesanan pelanggan lain
·         Kerugian materiil dan imateriil penggugat (PT Polyprima Karyareksa)
Karena penjual tidak mengirimkan barang pesanan pembeli, hal ini merugikan pembeli secara materiil sebesar $6,525 juta. Pada dasarnya, barang yang seharusnya dikapalkan oleh Daeco adalah sebuah bahan baku pembuatan di pabrik PT Polyprima Karyareksa ini. Dengan tidak adanya bahan baku yang dibutuhkan, mengakibatkan pabrik PT Polyprima Karyareksa ini lumpuh selama sepuluh hari, sehingga perusahaan pembeli mengalami kerugian tambahan sebesar kurang lebih $461,000. Hal ini juga merusak nama baik pembeli, karena pembeli tidak bisa memenuhi pesanan pelanggan sebesar $5juta

Dengan hal ini, penggugat menginginkan bantuan dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menyelesaikan sengketa ini, dikarenakan atas alasan tersebut diatas.
Dengan adanya pertimbangan hukum, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengambil putusan No 77/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst yang amarnya adalah sebagai berikut:
·         Dalam Eksepsi:
Mengabulkan eksepsi penjual tersebut
·         Dalam Pokok Perkara:
Menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara ini;
- Menyatakan gugatan dari pembeli tidak dapat diterima
- Menyatakan gugatan pembeli tidak dapat diterima
- Menghukum pembeli untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini 
- Menimbang bahwa alasan yang diajukan pembeli dalam memori kasasi nya adalah:
·         Judex Facti telah keliru menerapkan hukum, karena alasan dasar gugatan pemohon kasasi adalah Perbuatan Melawan Hukum dan bukan Wanprestasi.
·         Judex Facti keliru menerapkan hukum pembuktian karena menilai bukti kontrak jualbeli yang hanya merupakan fotocopy
dan alasan-alasan lain yang menyebabkan posisi penggugat melemah. Mengenai alasan yang diajukan pembeli mengenai memori kasasinya, Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan ini tidak dapat dibenarkan karena judex facti yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri tidak salah menerapkan hukum, menimbang berdasarkan pertimbangan diatas di atas, lagi pula ternyata putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum atau UU maka permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi harus ditolak, serta karena dalam kontrak jualbeli Daeco telah memilih Pusat Arbitrase Internasional Singapura sebagai forum penyelesai sengketa. Dengan beberapa pertimbangan lainnya, Mahkamah Agung akhirnya mengadili dengan cara menolak permohonan kasasi dari PT Polyprima Karyareksa, serta menghukum penggugat untuk membayar biaya pengadilan sebesar lima ratus ribu rupiah. 

Penjelasan mengenai L/C PT. Polyprima Karyareksa tersebut adalah sebagai berikut :
·         Waktu kejadian : 29 Agustus 2006
·         Opening Bank :
·         Total Nilai L/C : $7.525.000 atau sekitar Rp. 67.725.000.000
·         Pengirim L/C : Daelim Corporation (Korea)
·         Barang Import : Para-Xylene 5000 Metrik Ton
·         Tujuan Import : PT Polyprima Karyareksa (Indonesia)
·         Skim : Usance L/C
Kesimpulan:

Sehingga kesimpulan dalam kasus ini adalah, apa yang sudah disepakati dalam kontrak bahwa penggunaan forum  penyelesai sengketa adalah dengan menggunakan Pusat Arbitrase Internasional Singapura, maka haruslah keduabelah pihak menggunakan forum tersebut untuk menyelesaikan sengketanya, penggugat yang berasal dari Indonesia tidak bisa meminta Pengadilan Negeri Jakarta untuk menuntut klaimnya. Pengadilan pun tidak bisa ikut campur dalam aturan yang sudah diatur dan disepakati dalam kontrak. Bukti yang diberikan juga harus bukti asli, bukan bukti fotokopi yang dilegalisir oleh organisasi Internasional yang tidak bersangkutan. Dilihat dari kasus ini, apabila penggugat benar atas segala tuntutannya, walaupun ia tidak memiliki bukti yang kuat, maka seharusnya dengan bercermin pada kasus ini, perusahaan lain akan lebih berhati-hati dalam menuliskan kontrak jualbeli, agar tidak merugikan salah satu pihak. 

Referensi:
2.      putusan.mahkamahagung.go.id; dalam putusan; Putusan No. 1558/K/Pdt/2009
4.      Workhop : Transaksi Ekspor-Impor dengan Letter of Credit LPBP – LePMA
5.      http://blogdeta.blogspot.com/2009/08/tata-cara-transaksi-letter-of-credit.html