Judul Buku : Bung
Karno The Other Stories: Serpihan Sejarah yang Tercecer
Penulis : Roso Daras
Penerbit : Imania dan Pustaka Media Mulia
Cetakan : Pertama, November 2009
Tebal : xxxviii dan 276 halaman
Penulis : Roso Daras
Penerbit : Imania dan Pustaka Media Mulia
Cetakan : Pertama, November 2009
Tebal : xxxviii dan 276 halaman
TAHUKAH Anda bahwa mobil
kepresidenan yang pertama dimiliki Indonesia adalah hasil curian? Sudiro,
sekretaris pribadi Soekarno, mendatangi rumah seorang pejabat Jepang yang
memiliki mobil jenis limosin bermerek Buick. Hanya ada sopir si pejabat yang
terlihat di pekarangan rumah. Sudiro berteriak kepada si sopir, ''Merdeka!''
Kemudian, dia menjelaskan maksud kedatangannya untuk meminta kunci mobil milik
majikan si sopir.
''Saya bermaksud mencuri mobil
juraganmu, buat presidenmu!'' jelas Sudiro untuk meredakan kebingungan si
sopir. Alhasil, si sopir melepaskan mobil milik majikannya kepada Sudiro. Mobil
buatan General Motor tahun 1939 tersebut telah menemani Soekarno dalam pelbagai
kegiatan yang dia lakoni pada masa-masa awal menjadi presiden RI.
Cerita tersebut adalah salah satu
di antara 30 kisah tentang Soekarno yang dihimpun Roso Daras dalam buku setebal
276 halaman ini. Roso Daras dalam buku ini memang menuliskan cerita-cerita
tentang Soekarno yang jarang menjadi diskursus publik. Dia menelusuri
buku-buku, koran, dan majalah terbitan lawas untuk menghimpun kisah-kisah
snapshot perihal Soekarno.
''Api di tungku tidak akan
menyala dengan baik kalau kayu tak bersaling-silang,'' demikian peribahasa
orang Minang. Roso Daras seolah mempraktikkan peribahasa tersebut melalui buku
ini. Kisah-kisah yang dia himpun bukan melulu terkait revolusi, pemikiran
politik, atau ideologi Soekarno, namun juga cerita-cerita tentang keseharian,
anekdot, dan tingkah unik sang proklamator tersebut. Keragaman tampilan kisah
yang disajikan Roso Daras membuat buku ini tampak sebagai sejumput usaha untuk
menjaga ''api'' Soekarno.
Khalayak agaknya hanya teringat
pada judul pleidoi Soekarno di hadapan pengadilan Hindia Belanda pada 1930, yakni
Indonesia Menggugat, tetapi kurang paham pada kisah dan isi pleidoi yang
menggetarkan banyak pihak itu. Roso Daras mengingatkan bahwa Soekarno menulis
pleidoi tersebut setiap malam hari dengan tangan dan beralas tempat buang air
di dalam sel selama 45 hari tanpa henti. Soekarno merujuk kepada 80 buku dan
pidato tokoh terkemuka untuk menulis Indonesia Menggugat (hlm. 35-42).
Pleidoi tersebut menjadi bahasan
serius di Eropa terkait dengan perlawanan bangsa-bangsa terjajah di Asia. Kisah
yang melingkupi Indonesia Menggugat hanyalah sedikit bukti bahwa Soekarno
adalah sosok yang cerdas dan responsif merasakan penderitaan masyarakatnya.
Soekarno pun seorang humoris yang
selalu memiliki lelucon untuk dibagi kepada lawan bicaranya. Howard P. Jones,
duta besar AS, pernah terpingkal-pingkal setelah mendengarkan lelucon dari
Soekarno (hlm. 245-248). Sifat humoris memberikan isyarat kepada kita bahwa
Soekarno bukanlah pribadi yang memikirkan kehidupan pada segi politik semata.
Bahkan, Soekarno juga dikenal sebagai pemikir kebudayaan yang sangat luas
pengetahuannya di bidang seni rupa. Boleh dikata, Soekarno merupakan politikus
yang mampu mengupas kesenian sebaik menjelaskan pemikiran politiknya.
Roso Daras juga menghimpun
kisah-kisah percintaan Soekarno dengan beberapa perempuan hingga gosip affair
antara Soekarno dan Marilyn Monroe. Cerita-cerita semacam itu, agaknya, mampu
membuat pembaca mengenal sosok Soekarno sebagai manusia biasa yang pernah
tersandung cinta.
Bagi saya, kisah yang mengharukan
justru datang dari momen Soekarno melamar Rahmi untuk menjadi istri Bung Hatta
(hlm. 145-151). Peristiwa yang terjadi beberapa bulan setelah proklamasi
dikumandangkan itu memperlihatkan bahwa Soekarno selalu meluangkan waktu untuk
memikirkan orang-orang terdekatnya. Soekarno membantu Bung Hatta, yang saat itu
berumur 43 tahun dan masih perjaka, untuk mendapatkan istri. Padahal, jamak
paham bahwa dua proklamator RI itu sering berselisih dalam pandangan politik.
Sikap care yang ditunjukkan Soekarno terhadap Bung Hatta memberikan pelajaran
kepada kita bahwa politisi memang harus mampu membedakan urusan politik dan
perkawanan.
Suatu kali, Oei Tjoe Tat, menteri
negara diperbantukan presidium Kabinet Kerja 1963-1966, pernah tidak percaya
diri atas nama Tionghoa yang disandangnya. Karena itu, Oei meminta Soekarno
memilihkan nama yang pantas baginya sebagai seorang pejabat negara. Alih-alih
menuruti kemauan Oei, Soekarno malah marah dan berkata, ''Apa? Kamu kan orang
Timur? Apa kamu sudah kehilangan hormat kepada ayahmu yang memberi kamu nama
itu?''
Kisah itu agaknya bisa menjadi
pembanding bagi pandangan beberapa lawan politik Soekarno yang menilai pemimpin
besar revolusi itu sebagai pribadi bermental Jawasentris.
Melalui buku ini, Roso Daras
memang ingin menyuguhkan pemandangan tentang Soekarno sebagai manusia yang
multiaspek. Kepribadian presiden pertama RI itu tak bisa dinilai hanya melalui
satu kisah. Buku ini merupakan usaha yang baik dalam menyuguhkan sosok Soekarno
secara utuh kepada generasi masa kini. Hanya, Roso Daras tak menuliskan tahun
terbit dari sumber pustaka yang memuat kisah Soekarno sebagaimana dia nukil
dalam buku ini. Hal itu tentu akan menyulitkan pembaca yang ingin lebih lanjut
menelusuri kisah tersebut. Walau begitu, kita tetap layak membaca buku ini
sebagai langkah dalam mewarisi api, bukan abu Soekarno. (*)
http://www.goodreads.com/topic/show/258759-kumpulan-resensi-review-buku-dari-koran-majalah
Diakses : 14 Oktober 2011 18:59 WIB
HENDRA RAMADHANTO_25209080_3EB19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar